Liputan6.com, Jakarta Posisi Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) merosot empat poin pada 2022. Dalam indeks disebutkan Indonesia berada pada angka 34, turun dari sebelumnya 38. Selain itu, posisi Indonesia juga berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei.
Transparency International Indonesia (TII) menyebut, rilis IPK Indonesia 2022 itu mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori.
Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko, faktor yang mempengaruhi skor tersebut karena tren hasil dari kebijakan beberapa tahun sebelumnya. Terutama peran pemerintah terkait revisi Undang-Undang KPK.
Advertisement
"Jadi kalo melihatnya tren ini sebenarnya yang kita saksikan terutama Presiden Jokowi merevisi Undang Undang KPK kemudian model cara merevisi UU KPK dengan proses yang cepat, tanpa partisipasi yang cukup. Itu jadi model pembahasan UU yang lain, Omnibus kan mengikuti model itu ya, tertutup. Itu salah satunya," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Baca Juga
Dia menyebut akibat revisi UU KPK tersebut, ada dua dampak yang ditimbulkan. Pertama pelemahan KPK dan dilanjutkan tes wawasan kebangsaan yang menyingkirkan sejumlah staf terbaik KPK. Dan dampak kedua, mengurangi partisipasi publik yang kemudian membuat pengawasan terhadap pemerintah itu melemah. "Itu dari sisi pengawasan dan penegakan hukum," ujar dia.
Strategi pemerintah dalam memberantas korupsi dari penindakan menjadi pencegahan dinilainya kurang tepat. Sebab belum ada hasil yang dirasakan masyarakat terkait dengan tindakan pencegahan tersebut.
"Jadi misalnya mengubah dari penindakan ke pencegahan. Ini kan kira-kira kalau saya berpikir positif itu yang dimaksudkan dengan revisi UU KPK. Tetapi dari pencegahan, kita tidak melihat perubahan yang cukup tampak dan kelihatan," ujar dia.
'Dalam pelayanan publik, bisnis, barangkali Presiden berharap serta meyakini bahwasanya UU Cipta Kerja bakal berdampak besar dalam pelayanan publik. Tetapi itu kan tidak otomatis. Pemerintah sudah merevisi banyak undang-undang, puluhan, dalam cipta kerja tetapi ternyata raportnya masih memburuk. Artinya penindakannya dikurangi, tapi pencegahannya tidak jalan," Danang menambahkan.
Untuk itu, pemerintah harus dapat melihat dan mengidentifikasi problem mana yang membuat Pemberantasan korupsi itu tidak jalan.
"Kita masih mengalami kasus kasus korupsi dalam ekspor dan impor, itu kan masih kaitannya ke impor beras, harga naik, itu sebenarnya terkait praktik korupsi dalam perdagangan. Harga kedelai naik turun, ada masalah perdagangan. Dan itu masih belum terselesaikan sampai sekarang," kata dia.
Menurut Danang, ada dua komponen yang menjadi penyebab Indonesia terus berada di urutan bawah. Kedua itu ialah di sektor korupsi politik dan di sektor korupsi peradilan.
"Korupsi peradilan ya kita tahu, hakim MA aja ditangkap, terus kasus Indosurya itu kan dilihat orang, tidak ada keadilan. Terus kalau politik kaitannya sebetulnya ada dua hal pertama praktik pembelian suara, dan kedua pendanaan politik. Kalau pembelian suara kan lagi nggak ada Pilkada, jadi orang menganggap sama seperti dulu. Tetapi yang tidak kita lihat ini soal pendanaan politik, bagaimana memastikan parpol ini transparan dan akuntabel dalam pendanaan, bagaimana parpol itu diaudit laporannya dan publikasi, kan begitu," terang dia.
Yang tak kalah penting penyebab merosotnya indeks ini ialah merebaknya konflik kepentingan antara eksekutif, legislatif dan pebisnis. Hal ini harus menjadi perhatian agar IPK Indonesia dapat kembali meroket di antara negara negara dunia.
"Konflik kepentingan, ya mohon maaf ya, semakin menjadi jadi. Misalnya Menko Marves membuat peraturan yang dia juga punya perusahaan di sektor mineral. Ya bukan enggak suka sama Pak Luhut, tapi kan kita tidak bisa melepas Pak Luhut itu pendiri Toba Bara. Jadi konflik kepentingan kalau tidak diatur dengan tegas, itu akan merusak ya, jadi sorotan," ujar dia.
Danang mengungkapkan dampak dari turunnya IPK Indonesia. Menurutnya, Citra Indonesia di mata dunia akan menurun setelah dianggap sebagai negara yang berhasil memberantas korupsi.
"Dampaknya pertama, kita kan kemarin G20. Di dunia internasional ini dipandang betul . Tapi kan ini malah turun dengan IPK sekarang. Selama ini dunia internasional memandang KPK ini, Indonesia dianggap berhasil memberantas korupsi. Malah KPK kalau diperhatikan, yang studi banding itu banyak dari KPK-KPK negara lain. Dibanding negara lain, kita dianggap berhasil. Dari sisi itu Indonesia menurun Citranya dalam hal pemberantasan korupsi," dia menjelaskan.
Kemudian, yang kedua akan memberikan dampak terhadap investasi di Indonesia. Hal ini berkebalikan dengan keinginan pemerintah untuk menarik investor sebanyak banyaknya ke Tanah Air.
"Ini kan kontradiktif, Presiden mau welcome investasi tetapi ternyata ada masalah dalam risiko berbisnis di Indonesia. Ini pandangan investor kan masalahnya. Makanya ini menjadi catatan bagi presiden. Pasti ada yang salah, saya kurang tahu persis di mana detail detailnya. Saya kira tugas presiden dan pembantunya untuk memastikan bahwa Kebijakannya itu diimplementasikan dengan baik di lapangan,' ujar dia.
Karena itu, dia mendorong agar strategi pemberantasan korupsi dikembalikan ke relnya. Jika revisi UU KPK dimaksudkan untuk mengurangi penindakan dan mengajak pencegahan, harusnya langkah itu dilakukan dengan baik.
"Masalahnya barangkali bagaimana mengundang investasi, tapi bagaimana investasi ketika di Indonesia itu dijamin hak-haknya menyangkut pelayanan yang lain, soal kepastian hukumnya, pelayanan publik yang soal perpajakan, pelayanan publik sehari hari bagi karyawannya, itu kan yang dilihat," dia menandaskan.
Sedangkan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai pemerintah tidak serius dalam memberantas korupsi. Hal itu terlihat dari pernyataan sejumlah pejabat tinggi negara dan juga dari kebijakan yang dikeluarkan.
"Kalau dari lihat dari cerminannya dari menurunnya indikasinya itu saya melihat pemerintah itu kurang sungguh-sungguh ya, dalam arti banyak kebijakan-kebijakan yang tidak mengarah pada bagaimana penguatan preventif itu. Karena kan penekannya pada preventif, bukan pada kuratif. Nah kalau kita melihat pada pernyataan-pernyataan Pak Luhut mengenai tidak OTT semua kan mengindikasikan memang itu cerminan pemerintah yang tidak sungguh-sungguh," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (9/2/2023).
"Jadi ada pemerintah yang cenderung 'membiarkan', efeknya korupsi yang tinggi di berbagai daerah, Menteri dan lembaga, kemudian dari sinilah IPK yang dirilis oleh lembaga itu menjadi mengalami kondisi yang menurun," dia menambahkan.
Selain itu, Ia melihat KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi ini dalam posisi yang lemah setelah disahkannya UU KPK yang baru. Karena KPK saat ini telah masuk dalam rumpun eksekutif. Dengan demikian KPK menjadi lembaga penegak hukum sekaligus bagian dari lembaga pemerintahan.
"Jadi kalu eksekutif itu sesama eksekutif dia nggak bisa. Misalnya jeruk makan jeruk. Ada rasa kesungkanan kecuali kalau udah terpaksa sekali kepepet misalnya, harus (lakukan penangkapan) gitu ya, tapi yang menjadi problem ketika dia melangkah pun pada akhirnya dia gamang, mundur teratur dan tidak sampai tuntas. Itu yang terjadi seperti itu. Nah ini bersumber dari mana, ya itu tadi sifat eksekutif berada di bawah kebijakan presiden, kepala negara dan kepala pemerintahan," Trubus menerangkan.
Dan terakhir, lembaga-lembaga yang getol menyuarakan suara tentang korupsi juga kecenderungan masuk angin. Intonasinya sudah melemah dan tidak segarang dulu.
"Saya juga memahami posisinya seperti ya anjing menggonggong kafilah berlalu. Artinya kritikan dari lembaga itu seperti dicuekin, enggak dianggap. Di tataran elite akhirnya yang terjadi adalah bahwa korupsi itu sebagai tumbuhnya pembangunan. Jadi kemajuan suatu bangsa, ya korupsi bagian dari olinya pembangunan. Mereka akhirnya berasumsi seperti itu, dan itu menjadi pembenaran adagium di berbagai negara yang indeks persepsi korupsinya menurun," kata dia.
Trubus menilai penurunan IPK Indonesia ini sebagai cerminan strategi Jokowi yang tidak efektif dan juga jalan di tempat. Hal itu disebabkan political will penyelenggara negara yang minim dalam pemberantasan korupsi.
"IPK Indonesia nggak mengalami kemjaun signifikan,karena kemudian banyak yang RUU seharusnya disahkan sampai sekarang (belum). Misalnya RUU perampasan aset, (dibahas) sejak 2012. Mengenai memiskinkan (koruptor) tidak berjalan. Kalau memang pidana mati tidak ada, harusnya adanya hukuman pemiskinan itu, yang dilakukan melalui perampasan aset. Tapi karena instrumennya sendiri tidak ada, jadi seperti macan ompong," ujar dia.
Salah Penegak Hukum?
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyatakan ada kemungkinan penilaian IPK turun lantaran pernyataan Menko Marves Luhut Panjaitan agar tidak ada lagi operasi tangkap tangan (OTT).
“Apakah misalnya ucapan jangan ada lagi OTT OTT ini bagian dari yang dinilai. Apalagi saat diucapkan saat penilaian berlangsung,” kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (9/2/2023).
Arsul menyayangkan IPK Indonesia turun. Dia meminta semua pihak memberi perhatian penurunan tersebut.
“Ada yang disedihkan kita bersedih kita kaget sebagaimana yang disebutkan Deputi Pencegahan (KPK) juga kaget, ketika kita mendapati indeks persepsi mengalami penurunan yang cukup tajam. 2021 Indonesia memperoleh skor 38 dan pada tahun 2022 Indonesia skornya turun menjadi 34. Dari peringkat 96 pada 2021 turun 14 peringkat jadi 110 dari 180 negara,” kata Arsul.
Menurut politikus PPP ini, turunnya IPK bukan semata salah penegak hukum melainkan pemerintahan dalam hal ini eksekutif. “Jangan setiap IPK turun jangan hanya KPK disebut tidak kerja berantas korupsi, harus fair. Padahal persoalaann di luar penegak hukum,” kata Arsul.
Berdasarkan laporan yang ia baca, turunnya IPK justru disumbang dari tidak efisiennya kinerja pemerintah, bukan penegak hukum atau KPK.
“Saya berharap Pak Ketua KPK ini harus dijelaskan kepada publik, bahwa penurunan IPK ini juga terkait rumpun kekuasaan penyelenggara secara keseluruhan, terutama eksekutif. Kita bicara salah satu yang turun ini adalah berbicara efisiensi pemerintah dan efisiensi bisnis bukan tentang penegakan hukum,” pungkasnya.
Sementara Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP/Koordinator Juru Bicara DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengaku tidak terkejut dengan menurunnya IPK Indonesia ini. Karena temuan itu sudah sesuai dengan situasi yang dialami bangsa Indonesia.
"Sangat disayangkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia kembali turun di 2022, tapi kami tidak terkejut. Karena menurunnya IPK ini memang mencerminkan situasi terkini Indonesia. Banyak kebijakan yang tidak menunjukkan komitmen pemerintah dalam penegakan hukum yang berkeadilan dan komitmen dalam pemberantasan korupsi. Delapan tahun terakhir ini, memang Indonesia cenderung stagnan, berjalan di tempat," kata dia kepada wartawan, Kamis (9/2/2023).
Dia mengungkapkan, berbicara mengenai komitmen penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, pemerintahan saat ini mesti belajar banyak dari era SBY. IPK Indonesia dalam 10 tahun naik 14 poin, dari 20 ke 34. Sedangkan di era sekarang, selama 8 tahun, kenaikannya sangat minim. Bahkan, kini malah anjlok dan berada di posisi yang sama ketika awal pemerintahan Jokowi.
"Bisa dikatakan, seakan-akan, 8 tahun pemerintahan saat ini tidak berbuat apa-apa untuk perbaikan Indonesia di bidang pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Mandek," kata dia.
Karena itulah, Herzaky menegaskan, Demokrat yakin bersama Koalisi Perubahan dengan Anies Baswedan sebagai capres 2024, akan bisa memperbaiki dan meningkatkan IPK Indonesia jika dipercaya kembali memimpin Indonesia di 2024-2029. Demokrat telah memiliki pengalaman melakukan perubahan struktural dan sistemik sehingga IPK Indonesia bisa naik drastis selama 10 tahun pemerintahan Bapak SBY pada tahun 2004-2014.
"Jejak rekam ini ditambah visi yang serupa dari Ketum AHY dan Demokrat, kami yakini merupakan modal dasar yang amat penting dalam meningkatkan IPK Indonesia di tahun 2024-2029," ucap dia.
Untuk pemerintahan saat ini, Ia menyarankan agar dipastikan terlebih dulu komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Dari pemimpin tertinggi, hingga di level bawah. Lalu, tunjukkan dalam kebijakan dan pelaksanaan kebijakannya di lapangan.
"Jangan sibuk berkata manis di media massa, tetapi minim dalam realisasi atau sekedar lip services belaka. Gunakan waktu tersisa hingga Oktober 2024 dengan sebaik mungkin," Herzaky menandaskan.
Advertisement
Pemanis Pidato
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai gembar-gembor narasi penguatan pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo tak pernah terbukti. Alih-alih membaik, nasib pemberantasan korupsi justru kian mundur belakangan waktu terakhir.
"Indeks Persepsi Korupsi tahun 2022 yang baru saja dilansir oleh Transparency International Indonesia (TII), menunjukan skor Indonesia anjlok empat poin yaitu dari 38 menjadi 34. Tak cukup itu, peringkat Indonesia pun terjun bebas, dari 96 menjadi 110. Merujuk pada temuan TII, tak salah jika kemudian disimpulkan bahwa Indonesia layak dan pantas dikategorikan sebagai negara korup," kata dia kepada wartawan, Kamis ((9/2/2023).
Salah satu diantara sekian banyak variabel yang disorot oleh TII dalam paparan IPK adalah maraknya korupsi politik di Indonesia. Analisa tersebut tentu benar jika dikaitkan dengan realita saat ini.
"Bisa dibayangkan, berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2004 sampai 2022, pelaku yang berasal dari lingkup politik, baik anggota legislatif maupun kepala daerah, menempati posisi puncak dengan total 521 orang. Ini menandakan, program pencegahan maupun penindakan yang diusung pemangku kepentingan gagal total," kata dia.
Kurnia menjelaskan Indonesia Corruption Watch mencoba mengurai sejumlah persoalan korupsi politik yang mengakibatkan IPK Indonesia terpuruk. Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini gencar memberantas korupsi politik justru dilemahkan oleh Presiden Joko Widodo melalui perubahan Undang-Undang (UU) KPK. Tidak cukup itu, Presiden juga membiarkan figur-figur bermasalah memimpin lembaga antirasuah.
"Sekalipun ada yang ditindak, misal, Juliari P Batubara dan Edhy Prabowo, namun penuntasan perkara itu masih menemui jalan buntu. Sehingga wajar saja jika responden yang terlibat dalam pengumpulan data untuk penilaian IPK menaruh rasa pesimis terhadap pembenahan sektor politik," ujar dia.
Kedua, sikap pemerintah melalui menteri-menteri di dalam Kabinet Indonesia Maju cenderung permisif terhadap kejahatan korupsi. Sebagai contoh, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut B Pandjaitan, sempat berulang kali mengomentari mengenai Operasi Tangkap Tangan dengan kalimat destruktif. Momen lain diperlihatkan oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang mana beberapa waktu lalu, dalam kutipan sejumlah pemberitaan, meminta kepada aparat penegak hukum untuk tidak menindak kepala daerah, melainkan fokus pada pendampingan.
"Pernyataan-pernyataan semacam ini tentu menunjukan sikap yang berseberangan dengan harapan atas perbaikan pemberantasan korupsi," tegas Kurnia.
Ketiga, regulasi yang sejatinya merupakan produk politik antara Presiden dan DPR tidak kunjung mendukung penguatan pemberantasan korupsi. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja undang-undang yang diundangkan tak lebih dari sekadar upaya untuk semakin mendegradasi upaya pemberantasan korupsi.
"Mulai dari KUHP, UU Pemasyarakatan, UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan UU Minerba. Segala yang diucapkan oleh pembentuk UU berkaitan dengan pemberantasan korupsi terbukti hanya ilusi, tanpa ada langkah konkret. Begitu pula Presiden, janji politik saat kampanye tahun 2014 maupun 2019 dilupakan begitu saja seiring dengan menguatnya lingkaran kepentingan politik," terang dia.
Keempat, pemerintah dan DPR terbilang gagal menciptakan kepastian hukum untuk menjamin gelaran pesta demokrasi mengedepankan nilai-nilai integritas. Sebagaimana diketahui, pada dasarnya UU Pemilu dan UU Pilkada masih memperbolehkan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif.
"Sekalipun sudah ada putusan MK yang melarangnya dengan skema pembatasan waktu jeda lima tahun, namun dapat dilihat bahwa sikap pemerintah dan DPR sebenarnya masih menginginkan mereka dapat kembali berkompetisi. Sebab, perubahan ketentuan itu bukan berasal dari pembentuk UU, melainkan karena putusan MK. Situasi terkini, terbukti pembentuk UU juga tidak merevisi UU Pemilu untuk klausula calon anggota DPD RI yang mana masih memperbolehkan mantan terpidana korupsi mendaftarkan diri. Hal ini tentu bertolak belakang dengan narasi pemerintah yang kerap kali menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai pijakan utama," ungkapnya.
Ke depan, jelang tahun politik, permasalahan mengenai praktik korupsi dan sikap koruptif sejumlah pihak juga tak kunjung dituntaskan oleh pemerintah. Misalnya, potensi maraknya politik uang mendekati masa kampanye dan pemungutan suara.
"Problematika yang tampak dalam UU Pemilu seperti pembatasan subjek hukum pelaku politik uang juga tidak diperluas oleh pembentuk regulasi. Selain itu, penegakan integritas pemilu melalui penyelenggara pemilu yang independen justru dinodai pemerintah karena proses seleksinya bermasalah. Hal lain lagi menyangkut pendanaan partai politik yang disinyalir turut menerima aliran dari peristiwa kejahatan, sebagaimana diungkapkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan beberapa waktu lalu," ujar Kurnia.
Satu isu mencolok yang juga diuraikan oleh TII adalah pembiaran pemerintah terhadap situasi konflik kepentingan. Permasalahan ini kian tampak dalam beberapa kesempatan, satu diantaranya saat Presiden membiarkan anggota kabinetnya maju sebagai kontestan politik tanpa harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Ada potensi konflik kepentingan di sana, terutama pemisahan pekerjaan sebagai menteri dengan kepentingan politik untuk meraup suara masyarakat.
"Bukan tidak mungkin praktik penyalahgunaan kewenangan semakin marak terjadi dan faktanya Presiden membiarkannya. Apabila kita mengamini bahwa konflik kepentingan merupakan pintu masuk korupsi, perkara ini seharusnya ditanggapi dengan serius. Apalagi klaim yang kerap diutarakan pemerintah dalam memberantas korupsi adalah hendak lebih fokus pada aspek pencegahan," kata dia.
Pada bagian lain, partisipasi masyarakat dalam berbagai proses penyelenggaraan pemerintahan kian dipersempit. Padahal, sejumlah regulasi mewajibkan pemerintah untuk menempatkan masukan masyarakat sebagai pertimbangan utama sebelum melahirkan suatu kebijakan. Bahkan, MK menghasilkan gagasan meaningful participation yang ditujukan kepada pembentuk UU. Sayangnya, bukan diakomodir, partisipasi itu malah dijawab dengan kriminalisasi dan intimidasi dalam bentuk beragam oleh kelompok tertentu.
"Kondisi carut marut pemberantasan korupsi ini timpang dan paradoks dengan ucapan Presiden saat menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Dunia tahun 2022 lalu. Kala itu, Presiden mengatakan korupsi adalah pangkal dari berbagai tantangan dan masalah pembangunan: dari urusan penciptaan lapangan kerja, mutu pekerjaan, pelayanan masyarakat, hingga harga kebutuhan pokok," ucap Kurnia.
"Mencermati IPK Indonesia, dapat disimpulkan bahwa untaian kalimat Presiden terkait pemberantasan korupsi hanya sekadar pemanis pidato semata. Rezim Presiden Joko Widodo juga akan dicatat sebagai pemerintahan paling buruk pasca reformasi dalam konteks pemberantasan korupsi. Selain itu, jelang pergantian kekuasaan tahun 2024, Presiden juga gagal mewariskan kebijakan antikorupsi yang baik," dia menandaskan.
Jadi Masukan Pemerintah
Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 turun empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38. Dengan raihan tersebut, Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei.
Skor IPK mulai dari 0 hingga 100. 0 artinya sangat korup sementara 100 sangat bersih. Pada 2021, skor IPK Indonesia adalah 38 dengan peringkat 96.
Enam+02:04VIDEO: Johnny Plate Akan Diperiksa KejagungRI Diduga Nikmati Hasil Korupsi BTS 4G di Kemenkominfo "Corruption Perception Index Indonesia pada 2022 berada pada skor 34 dari skala 100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995," ujar Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam keterangan pers, Selasa (31/1/2023)
TII merilis IPK Indonesia 2022 mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori.
Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup dengan skor 83, diikuti Malaysia dengan skor 47, Timor Leste 42, Vietnam 42, Thailand 36, Indonesia 34, Filipina 33, Laos 31, Kamboja 24, dan Myanmar 23.
Sedangkan di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90, diikuti Finlandia dan Selandia Baru dengan skor 87, Norwegia 84, Singapura dan Swedia 83, serta Swiss 82. Sementara posisi terendah ada Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan 13, serta Venezuela 14.
"Dalam indeks kami tampak negara dengan demokrasi yang baik rata-rata skor IPK 70 dibandingkan negara yang cenderung otoriter maka tingkat korupsinya rata-rata 26," kata Wawan.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi angkat bicara terkait anjloknta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022. Jokowi menekankan hal ini akan menjadi koreksi dan evaluasi agar kedepannya IPK Indonesia semakin baik.
"Iya itu akan menjadi koreksi dan evaluasi kita bersama," ujar Jokowi singkat kepada wartawan saat mengunjungi Pasar Baturiti Kabupaten Tabanan Provinsi Bali, Kamis (2/2/2023).
Jokowi optimistis, merosotnya IPK tidak berpengaruh pada iklim investasi di Indonesia.
"Ya ini akan sudah kita rapatkan dua kali dan akan menjadi koreksi dari pemerintah untuk memperbaiki (IPK). Bahwa itu akan mempengaruhi investasi di Indonesia, saya rasa tidak," kata Jokowi di Istana Negara Jakarta, Selasa (7/2/2023).
Keyakinan Jokowi didasarkan pada perhitungan keuntungan yang dapat diperoleh investor. Dia menyebut, hal terpenting diperhatikan investor adalah Internal Rate Return atau IRR.
"Investor yang dihitung kan untungnya gede atau nggak gede. IRRnya berapa, biasanya seperti itu," jelas kepala negara.
Namun begitu, Jokowi tidak menampik jika ada sedikit dampak dari hasil IPK di Indonesia yang merosot. "Tapi bahwa itu sedikit mempengaruhi, iya," dia menutup.
Jokowi Indeks persepsi korupsi yang diterbitkan beberapa hari lalu menjadi masukan bagi pemerintah dan juga bagi aparat penegak hukum untuk memperbaiki diri.
Sementara Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan Pemerintah tetap berkomitmen memberantas korupsi meski Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Tahun 2022 menunjukkan penurunan sebanyak 4 poin.
"Memang biasa itu, kadang turun, naik; tapi yang jelas Pemerintah berkomitmen untuk memberantas korupsi," kata Ma'ruf Amin di Istana Kepresidenan Yogyakarta, Sabtu (4/2/2023).
Enam+02:04VIDEO: Johnny Plate Akan Diperiksa KejagungRI Diduga Nikmati Hasil Korupsi BTS 4G di Kemenkominfo Ma'ruf Amin menambahkan Pemerintah akan mengkaji penyebab penurunan indeks tersebut.
"Kami tentu akan teliti ya penurun persepsi korupsi, kami akan kita teliti, ya. KPK sendiri menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendidikan, kemudian juga pencegahan, dan penindakan. Ini secara simultan dilakukan; karena itu, kalau terjadi penurunan itu di mana?" katanya.
Pemerintah juga melakukan berbagai upaya pencegahan melalui pelayanan publik, katanya, seperti mendirikan Mal Pelayanan Publik (MPP) guna melayani masyarakat secara cepat.
"Melalui pelayanan yang digital, tanpa bertemu langsung, sehingga cepat, mudah, dan tidak ada celah melakukan pungli. Kemudian, kami juga membuat semacam zona integritas di birokrasi, kemudian wilayah bebas korupsi. Jadi, itu semua dalam rangka meminimalkan korupsi," jelasnya.
Menurut dia, Pemerintah akan melakukan pembahasan untuk mengetahui komponen utama yang menurunkan IPK Indonesia Tahun 2022.
"(Paling turun) Di sisi mana? Jadi, kami bertekad untuk meminimalkan korupsi bagaimana. Kami berharap penindakan lebih kecil karena sudah (diperbaiki) hulunya. Hulu itu dari pendidikan dan pencegahan yang lebih taat," ujar Wapres Ma'ruf Amin.
Advertisement